Senin, 09 Agustus 2010

favorite Michael K. Smith is the author of "Portraits of Empire" and "The Madness of King George," from Common Courage Press. He can be reached at proheresy@yahoo.com

Psychiatrist of Israeli Prime Minister Benjamin Netanyahu Commits Suicide

Anguished Suicide Note Cites ‘Deluge of Doublethink’ In Driving Kind-Hearted Shrink to Despair

Michael K. Smith
Legalienation News Bureau

Moshe Yatom, a prominent Israeli psychiatrist who successfully cured the most extreme forms of mental illness throughout a distinguished career, was found dead at his home in Tel Aviv yesterday from an apparent self-inflicted gunshot wound. A suicide note at his side explained that Israeli Prime Minister Benjamin Netanyahu, who has been his patient for the last nine years, had “sucked the life right out of me.”

“I can’t take it anymore,” wrote Yatom. “Robbery is redemption, apartheid is freedom, peace activists are terrorists, murder is self-defense, piracy is legality, Palestinians are Jordanians, annexation is liberation, there’s no end to his contradictions. Freud promised rationality would reign in the instinctual passions, but he never met Bibi Netanyahu. This guy would say Gandhi invented brass knuckles.”

Psychiatrists are familiar with the human tendency to massage the truth to avoid confronting emotionally troubling material, but Yatom was apparently stunned at what he called the “waterfall of lies” gushing from his most illustrious patient. His personal diary details the steady disintegration of his once invincible personality under the barrage of self-serving rationalizations put forth by Netanyahu.

“I’m completely shocked,” said neighbor Yossi Bechor, whose family regularly vacationed with Yatom’s family. “Moshe was the epitome of the fully-integrated personality and had cured dozens of schizophrenics before beginning work on Bibi. There was no outward indication that his case was any different from the others.”

But it was. Yatom grew increasingly depressed at his complete lack of progress in getting the Prime Minister to acknowledge reality, and he eventually suffered a series of strokes when attempting to grasp Netanyahu’s thinking, which he characterized in one diary entry as “a black hole of self-contradiction.”

The first of Yatom’s strokes occurred when Netanyahu offered his opinion that the 911 attacks on Washington and New York “were good.” The second followed a session in which Netanyahu insisted that Iran and Nazi Germany were identical. And the third occurred after the Prime Minister declared Iran’s nuclear energy program was a “flying gas chamber,” and that all Jews everywhere “lived permanently in Auschwitz.” Yatom’s efforts to calm Netanyahu’s hysteria were extremely taxing emotionally and routinely ended in failure. “The alibi is always the same with him,” complained another diary entry. “The Jews are on the verge of annihilation at the hands of the racist goyim and the only way to save the day is to carry out one final massacre.”

Yatom was apparently working on converting his diary into a book about the Netanyahu case. Several chapters of an unfinished manuscript, entitled “Psychotic On Steroids,” were found in his study. The excerpt below offers a rare glimpse at the inner workings of a Prime Minister’s mind, at the same time as it reveals the daunting challenge Yatom faced in seeking to guide it to rationality:


Monday, March 8

“Bibi came by at three for his afternoon session. At four he refused to leave and claimed my house was actually his. Then he locked me in the basement overnight while he lavishly entertained his friends upstairs. When I tried to escape, he called me a terrorist and put me in shackles. I begged for mercy, but he said he could hardly grant it to someone who didn’t even exist.”


-----Michael K. Smith is the author of "Portraits of Empire" and "The Madness of King George," from Common Courage Press. He can be reached at proheresy@yahoo.com

Sabtu, 07 Agustus 2010

tes ke 2,..

Sayid Hasan Nasrullah dalam pesannya berkata:

"Kalian menginginkan perang besar-besaran. Nah, ini dia perang besar-besaran kalian. Inilah yang kalian inginkan. Pemerintahan kalian ingin mengubah aturan permainan. Baiklah, aturan kita ubah. Kalian tidak tahu hari ini dengan siapa kalian berperang. Kalian berperang dengan keturunan Muhammad Saw, Ali, Hasan, Husein as, Ahli Bait Rasulullah Saw dan para sahabatnya. Kalian berperang dengan kaum yang imannya lebih tinggi dari seluruh manusia di atas bumi. Kalian ingin berperang habis-habisan dengan kaum yang bangga akan sejarah dan budayanya. Kaum yang memiliki kekuatan materi, fasilitas, keahlian, kecerdasan, ketenangan, tekad baja, kokoh dan berani. Kita akan menyaksikan apa yang terjadi di hari-hari akan datang antara kami dan kalian dengan berharap pada pertolongan Allah.(IRIB/SL/MZ)

tes2 dulu jam 3 malam,..

Manusia Tidak Pernah Puas dengan Harta
Diposkan oleh Bermanfaat Bagi Yang Lain di 14:06 . Kamis, 05 Agustus 2010

Inilah sifat manusia, tidak pernah merasa puas dengan harta. Buktinya adalah hadits-hadits berikut:

Pertama:
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
« تَعِسَ عَبْدُ الدِّينَارِ وَالدِّرْهَمِ وَالْقَطِيفَةِ وَالْخَمِيصَةِ ، إِنْ أُعْطِىَ رَضِىَ ، وَإِنْ لَمْ يُعْطَ لَمْ يَرْضَ »

“Celakalah hamba dinar, hamba dirham, hamba pakaian dan hamba mode. Jika diberi, ia ridho. Namun jika tidak diberi, ia pun tidak ridho”. (HR. Bukhari no. 6435)

Kedua:
Dari Ibnu 'Abbas, ia mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
لَوْ كَانَ لاِبْنِ آدَمَ وَادِيَانِ مِنْ مَالٍ لاَبْتَغَى ثَالِثًا ، وَلاَ يَمْلأُ جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إِلاَّ التُّرَابُ ، وَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَى مَنْ تَابَ

“Seandainya manusia diberi dua lembah berisi harta, tentu ia masih menginginkan lembah yang ketiga. Yang bisa memenuhi dalam perut manusia hanyalah tanah. Allah tentu akan menerima taubat bagi siapa saja yang ingin bertaubat.” (HR. Bukhari no. 6436)

Ketiga:
Dari Ibnu 'Abbas, ia mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
لَوْ أَنَّ لاِبْنِ آدَمَ مِثْلَ وَادٍ مَالاً لأَحَبَّ أَنَّ لَهُ إِلَيْهِ مِثْلَهُ ، وَلاَ يَمْلأُ عَيْنَ ابْنِ آدَمَ إِلاَّ التُّرَابُ ، وَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَى مَنْ تَابَ

“Seandainya manusia memiliki lembah berisi harta, tentu ia masih menginginkan harta yang banyak semisal itu pula. Mata manusia barulah penuh jika diisi dengan tanah. Allah tentu akan menerima taubat bagi siapa saja yang ingin bertaubat.” (HR. Bukhari no. 6437)

Keempat:
Ibnu Az Zubair pernah berkhutbah di Makkah, lalu ia mengatakan,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - كَانَ يَقُولُ « لَوْ أَنَّ ابْنَ آدَمَ أُعْطِىَ وَادِيًا مَلأً مِنْ ذَهَبٍ أَحَبَّ إِلَيْهِ ثَانِيًا ، وَلَوْ أُعْطِىَ ثَانِيًا أَحَبَّ إِلَيْهِ ثَالِثًا ، وَلاَ يَسُدُّ جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إِلاَّ التُّرَابُ ، وَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَى مَنْ تَابَ »

“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya manusia diberi lembah penuh dengan emas, maka ia masih menginginkan lembah yang kedua semisal itu. Jika diberi lembah kedua, ia pun masih menginginkan lembah ketiga. Perut manusia tidaklah akan penuh melainkan dengan tanah. Allah tentu menerima taubat bagi siapa saja yang bertaubat.” (HR. Bukhari no. 6438)

Dari Anas, dari Ubay, beliau mengatakan, “Kami kira perkataan di atas adalah bagian dari Al Qur'an, hingga Allah pun menurunkan ayat,
أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ

“Bermegah-megahan dengan harta telah mencelakakan kalian.” (QS. At Takatsur: 1). (HR. Bukhari no. 6440)
Bukhari membawakan hadits di atas dalam Bab “Menjaga diri dari fitnah (cobaan) harta.”

Beberapa faedah dari hadits-hadits di atas:

Pertama: Manusia begitu tamak dalam memperbanyak harta. Manusia tidak pernah merasa puas dan merasa cukup dengan apa yang ada.

Kedua: Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, “Perut manusia tidaklah akan penuh melainkan dengan tanah”, maksudnya: Tatkala manusia mati, perutnya ketika dalam kubur akan dipenuhi dengan tanah. Perutnya akan merasa cukup dengan tanah tersebut hingga ia pun kelak akan menjadi serbuk. (Syarh Ibnu Batthol)

Ketiga: Hadits ini adalah celaan bagi orang yang terlalu tamak dengan dunia dan tujuannya hanya ingin memperbanyak harta. Oleh karenanya, para ulama begitu qona'ah dan selalu merasa cukup dengan harta yang mereka peroleh. (Syarh Ibnu Batthol)

Keempat: Hadits ini adalah anjuran untuk zuhud pada dunia. Yang namanya zuhud pada dunia adalah meninggalkan segala sesuatu yang melalaikan dari Allah. (Keterangan Ibnu Rajab dalam Jaami'ul Ulum wal Hikam)

Kelima: Manusia akan diberi cobaan melalui harta. Ada yang bersyukur dengan yang diberi. Ada pula yang tidak pernah merasa puas.

Raihlah Kekayaan Hakiki

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ

“Kekayaan (yang hakiki) bukanlah dengan banyaknya harta. Namun kekayaan (yang hakiki) adalah hati yang selalu merasa cukup.” (HR. Bukhari no. 6446 dan Muslim no. 1051). Bukhari membawakan hadits ini dalam Bab “Kekayaan (yang hakiki) adalah kekayaan hati (hati yang selalu merasa cukup).”

Ya Allah, Berikanlah Kepada Kami Kecukupan

Oleh karena itu, banyak berdo’alah pada Allah agar selalu diberi kecukupan. Do’a yang selalu dipanjatkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah do’a:
اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالْعَفَافَ وَالْغِنَى

“Allahumma inni as-alukal huda wat tuqo wal ‘afaf wal ghina” (Ya Allah, aku meminta pada-Mu petunjuk, ketakwaan, diberikan sifat ‘afaf dan ghina) (HR. Muslim no. 2721)

An Nawawi –rahimahullah- mengatakan, “”Afaf dan ‘iffah bermakna menjauhkan dan menahan diri dari hal yang tidak diperbolehkan. Sedangkan al ghina adalah hati yang selalu merasa cukup dan tidak butuh pada apa yang ada di sisi manusia.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al Hajjaj, 17/41, Dar Ihya' At Turots Al 'Arobi). Berarti dalam do'a ini kita meminta pada Allah [1] petunjuk (hidayah), [2] ketakwaan, [3] sifat menjauhkan diri dari yang haram, dan [4] kecukupan.

Semoga Allah menjadikan kita sebagai hamba yang selalu memiliki sifat ghina yang selalu merasa cukup dengan nikmat harta yang Allah berikan.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.com
Diselesaikan di Sleman, 21 Muharram 1431 H